PROSES PENYERAPAN UNSUR HARA OLEH TANAMAN

Oleh: Asfin Kurnia, SP.
(Jurusan Budidaya Pertanian-Universitas Brawijaya)

Penyerapan Unsur Hara Melalui Daun  

Proses penyerapan hara melalui daun terjadi karena adanya proses difusi dan osmosis melalui stomata sehingga mekanismenya berhubungan langsung dengan membuka dan menutupnya stomata (Salisbury dan Ross, 1995). Banyak faktor yang menyebabkan membuka dan menutupnya stomata, selain disebabkan oleh aktivitas sel penjaga juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Penyerapan air oleh sel penjaga disebabkan oleh perbedaan potensial osmotik antara sel penjaga dan sel-sel di sekitarnya. Jika potensial osmotik protoplas sel penjaga lebih negatif daripada sel sekitarnya, maka air akan bergerak masuk ke dalam sel penjaga secara osmosis sehingga mengakibatkan naiknya tekanan sel dan menyebabkan sel mengembung. Unsur hara dalam bentuk ion-ion yang berada pada permukaan daun akan bergerak masuk secara difusi dan osmosis ke dalam sel setelah stomata membuka,. Masuknya ion-ion tersebut ke dalam sel tanaman terjadi secara bertahap. Mula-mula molekul dan ion-ion zat terlarut menembus lapisan yang menyelubungi permukaan dinding sel sebelah luar dengan proses difusi menuju dinding sel yang dilapisi oleh membran plasma yang bersifat impermeabel terhadap ion-ion. Setelah melalui membran plasma, ion-ion masuk ke dalam sitoplasma. Di dalam sitoplasma, molekul dan ion-ion tersebut mengalami beberapa kemungkinan yaitu diubah ke dalam bentuk lain, mengalami pengangkutan ke sel lain atau diangkut oleh tonoplas menuju vakuola atau organel-organel lain dalam sitoplasma antara lain mitokondria dimana terjadi proses respirasi sehingga dapat berperan dalam pertumbuhan tanaman (Prawiranata et al., 1981). 

Penyerapan Unsur Hara Melalui Akar  
Menurut Hakim et al. (1986), penyerapan unsur hara dari media tanam melalui akar terjadi dengan tiga cara yaitu intersepsi akar, aliran massa, dan difusi.  
(1) Intersepsi akar  Mekanisme yang terjadi pada intersepsi akar adalah pergerakan akar tanaman yang memperpendek jarak antara tanaman dengan keberadaan unsur hara. Peristiwa ini terjadi karena akar tanaman tumbuh dan memanjang, sehingga memperluas jangkauan akar tersebut. Perpanjangan akar tersebut menjadikan permukaan akar lebih mendekati posisi keberadaan unsur hara, baik unsur hara yang ada dalam larutan tanah, permukaan koloid liat, maupun permukaan koloid organik. 

(2) Aliran massa  Mekanisme aliran massa adalah gerakan unsur hara di dalam tanah menuju ke permukaan akar bersama-sama dengan gerakan massa air. Selama proses transpirasi tanaman berlangsung, terjadi juga proses penyerapan air oleh akar tanaman. Terserapnya air karena adanya perbedaan potensial air yang disebabkan oleh proses transpirasi tersebut. Nilai potensial air di dalam tanah lebih rendah dibandingkan dengan permukaan bulu akar sehingga air tanah masuk kedalam jaringan akar. Pergerakan massa air ke akar tanaman akibat langsung dari serapan massa air oleh akar tanaman terikut juga unsur hara yang terkandung dalam air tersebut. 

(3) Difusi  
Difusi terjadi karena konsentrasi unsur hara pada permukaan akar tanaman lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi hara pada larutan tanah, pada permukaan koloid liat serta pada permukaan koloid organik. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar unsur hara tersebut telah diserap oleh akar tanaman. Tingginya konsentrasi unsur hara pada ketiga posisi tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa difusi dari unsur hara berkonsentrasi tinggi ke posisi permukaan akar tanaman.


Turnip Mosaic Virus (TuMV)

Oleh: Dewinda Ika Wulandari, SP. 
(Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan-Universitas Brawijaya)


Morfologi TuMV
Turnip Mosaik Virus (TuMV) termasuk dalam golongan Potyvirus yang memiliki bentuk partikel virus yaitu batang lentur panjang (Bos, 1990). Panjang partikel virus golongan ini ialah sekitar 700-900 nm dengan diameter 11 nm. Partikel virus TuMV pada tanaman caisim di Daerah Cinangneng berbentuk batang lentur dengan panjang 700–780 nm dan diameter sekitar 11-12 nm (Firdaus, 2009).
Partikel Virus TuMV: a) pada B. campestris di Daerah Cinangneng dengan Mikroskop Elektron (V)(Bar: 200 nm) (Firdaus, 2009), b) pada B. napus dengan Micrograph Elektron (Uddin et al., 2015)

TuMV tersusun atas kapsid, memiliki heliks yang berserabut dan flexuous (Natasya, 2014). TuMV memiliki genom ssRNA (RNA berantai tunggal), positifsense, dan linier dengan bobot molekul 3 x 106 . Panjang genom sebesar 9,6–9,8 kb dan panjang open reading frame (ORF) sebesar 9,0–9,4 kb. Ciri lain dari golongan virus ini adalah adanya badan inklusi yang khas dengan bentuk cakra atau beberapa bentuk lainnya (Wahyuni, 2005). Badan inkluasi virus juga dapat berbentuk silindris dengan lamela dan gulungan atau rol (Bos, 1990). 

Mekanisme Infeksi TuMV pada Tanaman 
TuMV termasuk virus yang memiliki asam nukleat berupa RNA dan positive sense, berarti RNA-nya langsung bertindak sebagai mRNA. Secara umum, setelah partikel virus masuk ke dalam sel, RNA akan dibebaskan dari protein mantel dan bergabung menuju mRNA inang. Virus pada awalnya menggunakan enzim RNA polimerase inang untuk menginisiasi transkripsi RNA polimerase virus. Virus (+) sense RNA akan langsung bertindak sebagai mRNA. RNA polimerase yang disandi virus digunakan untaian RNA-tetuanya untuk mentraskripsi kopiannya menjadi untaian negatif sense RNA, dan berfungsi sebagai cetakan untuk membuat replika. Untaian positif dan negatif menggunakan enzim polimerase virus untuk mensintesis untaian keturunannya melalui suatu bentuk replicative intermediate dari RNA. Kopian RNA yang belum lengkap disintesis menjadi molekul panjang penuh dan bertindak sebagai monosistronik messeger coat protein yang akan mensintesis protein mantel. Subunit protein kemudian bergabung dengan untaian RNA bebas sehingga terakit sejumlah keturunan partikel virus yang terakumulasi dalam sitoplasma sel (Wahyuni, 2005).

Penularan TuMV 
Penularan TuMV dapat melalui tiga cara yaitu cairan tanaman sakit, biji, dan vektor berupa aphid secara non-persisten (Bos, 1990). TuMV merupakan virus tular benih yang infeksinya dapat berasal dari sumber inokulum yang ada di lapangan atau dari benih yang membawa virus (Adiputra et al., 2012). Benih yang dihasilkan petani memiliki kemungkinan terinfeksi TuMV lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang dihasilkan oleh produsen benih. Sampel benih caisim varietas Ciherang dan Cinangneng hasil produksi petani terinfeksi TuMV dengan persentase masingmasing sebesar 15% dan 2%. (Kartiningtyas dan Hidayat, 2006). Penularan TuMV juga dapat melalui cairan tanaman sakit atau dilakukan secara mekanik. Penularan secara mekanik dapat dilakukan dengan pemindahan virus dari cairan tumbuhan sakit ke tumbuhan sehat. Persyaratan penularan dengan cara ini ialah terjadi secara bersama-sama perlukaan kecil dan partikel virus yang infektif pada bagian kecil sel inang yang mudah terinfeksi. Virus yang mudah ditularkan secara mekanik ialah virus yang stabil dalam cairan perasan dan terdapat pada inang dalam konsentrasi yang tinggi (Bos, 1990). Penularan secara mekanik juga dapat dilakukan melalui penularan lesio tunggal pada tanaman indikator yaitu C. amaranticolor dari beberapa daun yang diketahui terinfeksi TuMV (Firdaus, 2009). Cara penularan ketiga ialah melalui vektor non-virulifereus yang diduga sebagai proses kontaminasi stilet oleh virus (terbawa stilet). Perolehan dan inokulasi virus terjadi dalam periode makan aphid yang pendek, yaitu berkisar antara beberapa detik hingga beberapa menit. Vektor non-virulifereus segera infektif setelah memperoleh virus (Bos, 1990). Aphid mengambil virus dari tanaman yang terinfeksi atau gulma terinfeksi TuMV. Virus kemudian ditularkan ke tanaman yang sehat, sehingga akan timbul gejala. TuMV dapat ditularkan oleh dua spesies kutu daun yaitu Myzus persicae dan Aphis craccivora, namun M. persicae lebih efektif sebagai vektor TuMV dibandingkan A. craccivora (Firdaus, 2009). TuMV dapat ditransmisikan oleh M. persicae dan lebih dari 80 spesies aphid yang lain (Shattuck, 1992). Vektor yang terpenting antara lain Myzus persicae, Brevicoryne brassicae, dan Aphis gossypii (Kennedy et al., 1962; Shukla et al., 1994 dalam Kassem dan Walsh, 2008) 

Tanaman Inang TuMV 
TuMV memiliki kisaran inang yang luas yang terdiri atas minimal 318 spesies tanaman dari 156 genus dan 43 famili (Edwardson dan Christie, 1991 dalam Kassem dan Walsh, 2008). TuMV merupakan virus yang banyak menyerang tanaman dari golongan Brassica sp. dan tanaman lainnya di dunia (Kassem dan Walsh, 2008). Isolat TuMV mampu menginduksi gejala sistemik pada spesies/kultivar famili Brassicaceae antara lain pada Raphanus sativus, Brassica oleracea var gogylodes, B. oleracea var capitata, B. oleracea var gemmifera, B. oleracea var acephala, B. oleracea var capitat, B. oleracea var bottytis, B. oleracea var amplexicaulis, B. oleracea var botrytis, dan B. rapa. TuMV juga dapat menginfeksi famili Chenopodiaceae dan Solanaceae. Isolat TuMV pada tanaman dari famili Chenopodiaceae dan Solanaceae menginduksi gejala lesio lokal nekrotik (Firdaus, 2009). Inang TuMV juga mencakup beberapa gulma yang berperan sebagai sumber infeksi. Terdapat 14 famili gulma yang menjadi inang bagi TuMV (Shattuck, 1992). 
Variasi Gejala TuMV pada Tanaman Caisim: a) Daun Sehat, b) Daun Mosaik Ringan Disertai Vein Clearing, c) Daun Melepuh, d) Daun Malformasi, dan e) Tanaman Kerdil (Firdaus, 2009) 


Gejala Infeksi TuMV Masa inkubasi TuMV pada tanaman sawi berkisar 6,4 hari setelah inokulasi (Natasya, 2014), sedangkan masa inkubasi TuMV pada tanaman caisim yang diinokulasi pada 4, 6, 8, dan 10 hari setelah tanam ialah sekitar 8-10 hari setelah inokulasi (Kartiningtyas dan Hidayat, 2006). Tanaman caisim yang terinfeksi TuMV memperlihatkan gejala yang bervariasi. Beberapa tanaman hanya meperlihatkan mosaik ringan, tetapi kebanyakan tanaman memperlihatkan gejala mosaik berat yang ditandai warna hijau kekuningan pada daun dan disertai gejala vein clearing, melepuh, serta perubahan bentuk atau malformasi.Tanaman sakit umumnya terhambat pertumbuhannya sehingga tampak kerdil (Firdaus, 2009). Gejala lain yang ditimbulkan antara lain daun berukuran lebih kecil daripada ukuran normal, tidak terbentuk bunga, dan polong yang mengering sebelum terbentuk biji (Kartiningtyas dan Hidayat, 2006). Gejala awal tanaman sawi yang terinfeksi TuMV ditandai dengan vein clearing, kemudian daun yang terinfeksi menggulung atau malformasi (Natasya, 2014). Seluruh fase pertumbuhan tanaman caisim rentan terhadap infeksi TuMV. Infeksi virus pada umur tanaman yang lebih muda akan mengakibatkan tanaman semakin rentan dan gejala yang ditimbulkan akan semakin besar (Kartiningtyas dan Hidayat, 2006). [JK07]

PRODUKSI MIKOENZIM JAMUR ENTHOMOPATOGEN Verticillium lecanii SEBAGAI PENGHIDROLISIS KUTIKULA SERANGGA HAMA

Oleh: Joko Ariswanto, SP. 
(Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan-Universitas Brawijaya) 

Serangga merupakan hewan yang paling besar berperan sebagai hama tanaman. Berbagai metode pengendalian serangga hama telah banyak dilakukan salah satunya penggunaan pestisida kimia, namun pengendalian tersebut dirasa kurang efektif dalam mengendalikan serangga hama. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar serangga memiliki lapisan kulit luar atau kutikula yang tebal dan tersusun atas lapisan kitin dan lemak sehingga bahan aktif pestisida tidak dapat menembus kutikula serangga. Kitin merupakan komponen polysakarida yang tersusun atas monomer β-1,4 N-acetyl-D-glucosamine yang mudah terhidrolisis secara biologis, selain pada serangga kitin juga terdapat pada cangkang crustacea dan dinding sel jamur (Matsumoto et al., 2004). Penggunaan enzim penghidrolisis kitin merupakan cara yang dapat dilakukan dalam usaha pengendalian serangga hama secara alami. Kitinase merupakan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti jamur dan bakteri yang dapat menghidrolisis lapisan kitin pada subtrat tumbuh (Patil et al., 2000).

Jamur enthomopatogen Verticillium lecanii merupakan salah satu jamur yang dapat memproduksi enzim hidrolisis yakni enzim kintinase, lipase dan protease (Leger et al., 1997). Jamur V.lecanii termasuk dalam klas:Deuteromycetina, Ordo:Moniliales, famili: Moniliaceae, Genus: Verticillium dan Spesies :Verticillium lecanii (Clements dan Shear, 1975). Proses infeksi serangga oleh jamur diperantarai oleh enzim hidrolase kutikula yakni enzim kintinase, lipase dan protease. Selama proses infeksi jamur, jamur akan mengsekresikan enzime hidrolitik yang membantu dalam proses kolonisasi jamur pada intergumen serangga inang. Enzim protease dan karbohidratase akan disekresikan untuk menghidrolisis dinding sel serangga (Hasan et al., 2013).Jamur akan masuk kedalam intergumen serangga secara mekanis dengan menggunakan hifa, setelah masuk kedalam tubuh serangga jamur akan membentuk apresorium atau tabung kecambah. Jamur dalam tubuh serangga akan memproduksi enzime lipolitik yang terdiri dari endokitinase (polimer β-N-acetylhexosaminidase) dan extokitinase. Polimer β-N-acetylhexosaminidase adalah komponen yang penyusun kitinase yang terdiri atas monomer-monomer diacetylchitobiose atau chitotriose dan N-acetyl glucosamine atau chitotetraose. Enzim ini berperan dalam penyerapan nutrisi pada substrat serangga untuk pertumbuhan jamur. (Hasan et al., 2013; Sahai dan Manocha, 1993). Efektitifitas penggunaan jamur V. Lecanii terbukti dapat mengendalikan hama wereng batang hijau dengan jalan mempengaruhi kepiridian serangga hama dan dapat mematikan hama kutu daun hingga 100% (Ladja et al., 2011; Burges, 1980). 

Jamur enthomophatogen V. Lecanii: a-b. Serangga terinfeksi jamur V. Lecanii; c-d. Kenampakan mikroskopis miselium jamur V. Lecanii dan f. Konidia jamur V. Lecanii 

Perbanyakan jamur V.lecanii mengacu pada hasil penelitian Yadav et al. (2013), jamur V.lecanii diisolasi dari tanah dengan menggunakan metode delution plate dan dibiakan pada media MEA (Malt Ekstrak Agar).  kemudian diinkubasi selama 4 hari. Penggunaan media biakan MEA lebih cocok bagi pertumbuhan hifa jamur V.lecanii daripada media PDA (Pottato Dextrose Agar) dan mempersingkat masa inkubasi. Koloni jamur yang tumbuh akan dilakukan purinifikasi hingga didapatkan koloni murni jamur. Koloni murni jamur V.lecanii akan dibiakan masal dengan menggunakan media media cair ME (Malt Ekstrak). Komposisi bahan pembuat media ME sebagai berikut: Malt (30 gram), Peptone (5 gram), dan aquades (1000 ml) dengan pH media 7. Koloni jamur V.lecanii dimasukan dalam media cair dan dipasang aerator hingga kerapatan jamur bertambah. Aplikasi jamur V.lecanii dilakukan dengan cara mengencerkan suspensi jamur dengan kerapatan 108 spora/ml kemudian larutan disemprotkan pada serangga target (Ladja et al., 2011).
 [JK06].

SERAPAN UNSUR HARA N, P, K, DAN Na OLEH TANAMAN

Oleh: Asfin Kurnia, SP. 
(Jurusan Budidaya Pertanian-Universitas Brawijaya)

Pertumbuhan tanaman tidak hanya dikontrol oleh faktor dalam (internal), tetapi juga ditentukan oleh faktor luar (eksternal). Salah satu faktor eksternal tersebut adalah unsur hara esensial. Unsur hara esensial adalah unsur-unsur yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman dan apabila unsur tersebut tidak tersedia bagi tanaman maka akan menunjukkan gejala kekurangan unsur tersebut dan pertumbuhan tanaman akan terganggu. Unsur hara esensial meliputi unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro diperlukan bagi tanaman dalam jumlah yang lebih besar (0,5-3% bobot kering tanaman), sedangkan unsur hara mikro diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif kecil. Unsur hara makro antara lain N, P, K, C, H, O, S, Ca, dan Mg. Sedangkan unsur hara mikro diantaranya adalah Fe, B, Mn, Cu, Zn, Mo, dan Cl. Dari 16 unsur tersebut, unsur N, P, dan K diperlukan tanaman dalam jumlah yang besar (Salisbury dan Ross, 1995). 

Proses Penyerapan Unsur Nitrogen oleh Tanaman 
(Sumber: https://www.agric.wa.gov.au/soil-carbon/immobilisation-soil-nitrogen-heavy-stubble-loads)

Nitrogen (N) adalah komponen utama dari berbagai substansi penting di dalam tanaman. Unsur N menyusun 1-5% dari berat tubuh tanaman. Sekitar 4050% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitrogen. Unsur N diserap oleh tanaman dalam bentuk ion amonium (NH4+) atau ion nitrat (NO3-). Sumber unsur N dapat diperoleh dari atmosfer (gas N2), batuan dan mineral beku, dalam air hujan, asap gunung berapi, dan pupuk organik maupun anorganik (Syekhfani, 2012). Unsur N berfungsi untuk menyusun asam amino (protein), asam nukleat, nukleotida, dan klorofil pada tanaman. Unsur N sangat dibutuhkan pada tahap pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas, perkembangan batang dan daun. Tanaman yang kekurangan unsur N akan menunjukkan gejala : 
1. Seluruh tanaman berwarna pucat kekuningan (klorosis) akibat kekurangan klorofil
2. Pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, jumlah anakan atau jumlah cabang sedikit, perkembangan buah menjadi tidak sempurna dan seringkali masak sebelum waktunya pada tahap lanjut, daun menjadi kering dimulai dari daun pada bagian bawah tanaman (Novizan, 2002). 
Penyerapan unsur hara N dimulai dari fiksasi N2 atmosfir secara fisik/kimiawi yang  disuplai oleh tanah bersama prepitasi (hujan) oleh mikrobia baik secara simbiotik maupun nonsimbiotik ke dalam bahan organik. Bahan organik didekomposisikan oleh bakteri dan melalui serangkaian proses mineralisasi (aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi) akan melepaskan N-mineral (NH4+ dan NO3-) yang kemudian diimmobilisasikan ke dalam tanaman (Rosmarkam, 2002). 
Gejala Kekurangan Unsur Hara pada Tanaman

Unsur P diambil tanaman dalam bentuk ion orthofosfat primer dan sekunder (H2PO4- atau HPO42-). Menurut Syekhfani (2012), sumber unsur P antara lain dari senyawa P organik dan anion fosfat yang terikat pada kisi-kisi liat (kaolinit, montmorilonit, illit). Konsentrasi unsur P dalam tanaman berkisar antara 0,1-0,5% lebih rendah daripada unsur N dan K. Menurut Hakim et al. (1986), keberadaan unsur P berfungsi sebagai penyimpan dan transfer energi untuk seluruh aktivitas metabolisme tanaman, pembelahan sel, pembentukan lemak dan albumin, perangsang perkembangan akar halus dan akar rambut, ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit, serta pembentukan buah, bunga dan biji. Tanaman yang kekurangan unsur hara P akan menunjukkan gejala pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, sistem perakaran kurang berkembang, daun berwarna keunguan, pembentukan bunga/buah/biji terhambat sehingga panen terlambat, persentase bunga yang menjadi buah menurun karena penyerbukan tidak sempurna.  

Hampir semua tanah yang tidak bertekstur kasar mengandung K-total tinggi. Namun, unsur K yang tersedia bagi tanaman hanya 1-2 % dari total K tanah mineral. Bentuk K tersedia bagi tanaman adalah ion K+. Kebanyakan unsur K merupakan bagian kompleks mineral tanah yang sedikit demi sedikit larut dalam air tanah atau asam karbonat. Pelepasan unsur K tergantung pada kompleks mineral tanah dan intensitas dekomposisi. Unsur K berfungsi untuk mendorong perkembangan akar dan berperan dalam ketahanan tanaman terhadap penyakit. Tanaman yang mengalami defisiensi unsur K menunjukkan kekeringan dari ujung daun paling tua (bawah), meluas sepanjang pinggir, disertai khlorotik bagian tengah. Ion-ion basa K, Ca, Mg, atau Na memiliki sifat antagonistik dalam hal serapan oleh tanaman. Jumlah salah satu unsur yang lebih banyak akan menyebabkan serapan unsur lainnya terganggu. Kompetisi berkaitan dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar. Salah satu kompetisi unsur hara yang terjadi pada kondisi tanah salin adalah K/Na (Syekhfani, 2012). Unsur Na mempunyai peluang untuk menggantikan sebagian fungsi K karena mempunyai peran fisiologis yang penting seperti mempertahankan turgor dan regulator nitrat reduktase dalam metabolisme (Tisdale et al., 1990). Namun, potensi penggantian sebagian K oleh Na tergantung pada sifat tanamannya. Berdasarkan tanggap tanaman terhadap Na dan transpor Na kebagian pucuk tanaman, Ismail (1998) membedakan spesies tanaman menjadi dua kelompok, yaitu kelompok tanaman dengan tanggap tinggi terhadap Na (natrofilik) dan kelompok tanaman dengan tanggap rendah terhadap Na (natrofobik). Marschener (1995) mengelompokkan tanaman menjadi : 
1) tanaman yang sebagian besar kebutuhannya akan K dapat digantikan oleh Na, seperti bit gula, lobak. 
2) tanaman yang sebagian kecil saja dari kebutuhannya akan K dapat digantikan oleh Na, seperti gandum dan bayam
3) tanaman yang sangat kecil saja kebutuhannya akan K dapat digantikan oleh Na, seperti padi, tomat, kentang
4) tanaman yang kebutukannya akan K sama sekali tidak dapat digantikan oleh Na, seperti kedelai dan jagung.

Tanggap tanaman terhadap Na berbeda-beda, tergantung pada genotipe tanamannya. Substitusi K oleh Na dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah. Sopandie (1990) menyatakan bahwa pada tingkat tertentu Na dapat menyebabkan terjadinya dispersi liat sehingga merusak agregat dan struktur tanah, yang berakibat terhadap rendahnya permeabilitas tanah. Tisdale et al. (1990), menyatakan bahwa toleransi kadar Na dalam tanah adalah 10-20% dari kapasitas tukar kation tanah. Pada tanah dengan tekstur halus, kejenuhan Na yang masih dapat ditoleransikan hanya < 10%, sedang pada tanah berpasir batas kritisnya mencapai sekitar < 30%. Hal ini dimungkinkan bahwa Na dengan dosis yang tinggi akan menghambat aktivitas pertumbuhan tanaman sehingga persediaan karbohidrat sebagai nutrisi yang diperlukan terhambat. Kadar Na yang tinggi menyebabkan serapan air dan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman terhambat sehingga fotosintesis juga terhambat. [JK05]

AGENS HAYATI (ANTAGONIS) PEGENDALI PENYAKIT TANAMAN

OLeh: Joko Ariswanto, SP. 
(Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan-Universitas Brawijaya)


Agens hayati adalah organisme yang berperan sebagai agens biokontrol organisme pengganggu tumbuhan seperti parasitoid, predator, parasit dan patogen. Agens hayati yang digunakan untuk mengendalikan penyakit disebut agens antagonis. Jenis agens hayati yang dapat digunakan sebagai agens antagonis penyakit adalah mikroba non-parasitik dapat berupa bakteri dan jamur. Agens hayati di lingkungan pada umumnya dapat ditemukan di tanah dengan membentuk suatu bentuk konsorsium. Konsorsium mikroba merupakan gabungan mikroba tanah seperti dalam bentuk komunitas yang mempunyai hubungan kooperatif, komensal, dan mutualistik. Penggunaan konsorsium lebih efektif dalam merombak residu bahan kimia dalam tanah dan meningkatkan kesuburan tanah dibandingkan dengan penggunaan mikroba tunggal (Choure dan  Dubey, 2012). Mikroorganisme yang termasuk kedalam konsorsium mikroba yang telah dimanfaatkan sebagai stimulator pertumbuhan dan pengendali penyakit tanaman diantaranya Bacillus sp., mikoriza, Trichoderma  sp. dan  Pseudomonas sp. 

 Karakteristik dan Manfaat Bakteri Bacillus subtilis  
Kenampakan mikroskopis koloni bakteri B. subtilis (Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b9/Bacillus_subtilis_Gram.jpg

Bacillus merupakan bakteri Gram positif (+) dan berbentuk batang. Beberapa spesies bersifat aerob obligat dan bersifat anaerobik fakultatif. Kelompok bakteri Bacillus memiliki endospora sebagai struktur bertahan ketika kondisi lingkungan tidak mendukung untuk perkembangan bakteri (Putro et al., 2014). Beberapa kelompok bakteri Bacillus menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen seperti siderophor, polymyxin, circulin dan colistin serta menginduksi ketahanan tanaman (Beneduzi et al., 2012). Bacillus subtilis merupakan salah satu spesies bakteri yang paling banyak digunakan sebagai agens hayati pengendali patogen tanaman. B. subtilis banyak diaplikasikan pada benih untuk mencegah patogen tular tanah seperti  F. oxysporum, Rhizoctonia solani, Botrytis cinera, Phytium sp. dan Sclerotium rolfsii (Baker dan Cook, 1974). B. subtilis juga memiliki pengaruh biofungisida terhadap serangan penyakit antarknosa pada cabai merah (Capsicum annuum) (Kusnadi dan Munandar, 2009). B. subtilis termasuk kedalam PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang dapat menghasilkan fitohormon (Sulistiani, 2009).  B. subtillis menghasilkan fitohormon yaitu IAA yang termasuk termasuk hormon pertumbuhan dan 1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid (ACC) yang berguna sebagai prekursor produksi gas etilen yang berperan dalam proses pengguguran daun dan buah (Valdez et al. 2011). 

Karakteristik dan Manfaat Bakteri Pseudomonas fluorescens 
Kenampakan koloni bakteri Pseudomonas fluorescens 

Pseudomonas sp. merupakan bakteri Gram negatif (-) dengan bentuk sel  lurus atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0,5-0,11 mm x 1,5-4,0 mm, motil dengan satu atau beberapa flagel, aerob dan tidak membentuk spora.  Pseudomonas fluorescens termasuk kedalam bakteri yang dapat ditemukan dimana saja,  sering kali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah, dan air, sisa-sisa makanan yang membusuk, serta kotoran hewan (Madigan dan Martinko, 2006). Bakteri P. fluorescens mampu mendegradasi sejumlah besar senyawa organik, berinteraksi dengan tanaman dan berasosiasi dalam rizosfer yang bersifat menguntungkan dibidang pertanian dan sebagian lainnya bersifat patogen.  Penggunaan bakteri P. fluorescens telah diketahui sangat efektif dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada persemaian tanaman tomat oleh bakteri Ralstonia solanacearum tanpa merusak vigor benih (Maji dan Chakrabartty, 2014).  Mekanisme P. fluorescens dalam menekan pertumbuhan patogen tanaman diantaranya dengan menghasilkan siderofor , β-13 glukanase, kitinase, antibiosis, dan sianida. Selain sebgai agens biokontrol patogen P. fluorescens juga dapat menghasilkan fitohormon yang mampu merangsang pertumbuhan tanaman seperti IAA (indole-3-acetic acid) yang dihasilkan oleh bakteri P. fluorescens (León et al., 2014). P. fluorescens sangat cocok digunakan sebagai agens bikontrol dikarenakan sifat kompetitif terhadap organisme lain seperti bakteri, jamur, nematoda dan oomycetes (Beneduzi et al., 2012).  

Karakteristik dan Manfaat Jamur Trichoderma  sp.   
Kenampakan mikroskopis miselium jamur Trichoderma  sp. (Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/71/Trichoderma_fertile.jpg)

Jamur Trichoderma  sp. merupakan salah satu agens hayati yang banyak digunakan oleh petani dan peneliti sebagai agens antagonis untuk mengendalikan berbagai macam penyakit tanaman. Jamur Trichoderma  sp. tergolong kedalam kelas jamur Ascomycota dan keluarga Hypocreaceae. Jamur Trichoderma  sp. mempunyai hifa bersepta, bercabang dan mempunyai dinding licin, tidak berwarna, diameter 1,5 mikron-12 mikron. Percabangan hifa membentuk sudut siku-siku pada cabang utama. Cabang utama konidiofor berdiameter 4 mikron sampai 5 mikron dan menghasilkan banyak cabang-cabang sisi yang dapat tumbuh satu-satu tetapi sebagian besar berbentuk dalam kelompok yang agak longgar dan kemudian berkembang menjadi daerah-daerah seperti cincin. Pada ujung konidiofor terbentuk konidiospora berjumlah 1-5, berbentuk pendek dengan kedua ujungnya meruncing dibandingkan dengan bagian tengah, berukuran 5-7 µm x 3-3,5 µm, di ujung konidiospora terdapat konidia berbentuk bulat, berdinding rata dengan warna hijau, hijau keputihan, hijau terang atau agak kehijauan (Rifai, 1964).  Trichoderma sp., termasuk jenis jamur yang dapat ditemukan di tanah dan mempunyai sifat mikoparasitik (Ismail dan Tenrirawe, 2010). Kemampuan inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap berbagai jenis  patogen tumbuhan. Beberapa patogen yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma sp., adalah Fusarium oxysporum penyebab penyakit moler pada bawang merah (Ramadhina et al., 2013) dan penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora (Asrul, 2009). Selain berfungsi sebagai agens biokontrol, Trichoderma sp., juga diketahui dapat digunakan sebgai dekomposer dalam pembuatan pupuk organik.   Mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah dengan menggunakan jamur Trichoderma sp. menurut Tindaon (2008) dapat terjadi melalui: 
a. Mikoparasit yaitu memarasit miselium jamur lain dengan menembus dinding sel jamur patogen dan menyerap nutrisi hingga jamur patogen mati. 
b. Dapat merusak dinding sel jamur patogen dengan jalan melisis dinding sel patogen menggunakan enzim kitinase yang diseintesis oleh Trichoderma sp. 
c. Bersifat kompetisi dengan jamur patogen dalam memperebutkan nutrisi untuk hidup.  

[JK04] 

Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)


Oleh: Asfin Kurnia, SP. 
(Jurusan Budidaya Pertanian-Universitas Brawijaya)

Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan sekumpulan mikroba dari kelompok bakteri yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer). PGPR hidup di daerah perakaran (rhizosfer) dan berperan penting dalam pertumbuhan tanaman, sehubungan dengan kemampuannya membentuk koloni di sekitar akar dengan cepat. Fungsi PGPR antara lain untuk membantu penyediaan hara bagi tanaman, mempermudah penyerapan hara bagi tanaman, membantu dekomposisi bahan organik, menyediakan lingkungan rhizosfer yang lebih baik sehingga mampu mendukung pertumbuhan dan meningkatkan produksi tanaman. Selain itu, PGPR mampu mensintesis dan meningkatkan konsentrasi fitohormon pemacu tumbuh tanaman sehingga memiliki ketahanan terhadap serangan penyakit. Peran PGPR secara tidak langsung bagi tanaman berkaitan dengan kemampuannya menekan aktivitas patogen dengan menghasilkan berbagai senyawa atau metabolit seperti antibiotik bagi penyebab penyakit terutama patogen tular tanah (Glick, 1995). 
Berbagai jenis bakteri telah diidentifikasi sebagai PGPR. Sebagian besar berasal dari kelompok gram-negatif dengan jumlah strain paling banyak dari genus Pseudomonas dan beberapa dari genus Serratia. Selain kedua genus tersebut, dilaporkan antara lain dari genus Azotobacter, Azospirillum, Acetobacter, Burkholderia, dan Bacillus. Meskipun sebagian besar Bacillus (gram-positif) tidak tergolong pengkoloni akar, beberapa strain tertentu dari genus ini ada yang mampu melakukannya, sehingga bisa digolongkan sebagai PGPR. Secara umum, fungsi PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dibagi dalam tiga kategori, yaitu: 
1. sebagai pemacu/perangsang pertumbuhan (biostimulants) dengan mensintesis dan mengatur konsentrasi berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon) seperti auksin, sitokinin, dan etilen dalam lingkungan akar
2.  sebagai penyedia hara (biofertilizers) dengan menambat N2 dari udara secara asimbiosis dan melarutkan hara P yang terikat di dalam tanah
3. sebagai pengendali patogen berasal dari tanah (bioprotectants) dengan cara menghasilkan berbagai senyawa atau metabolit anti patogen seperti siderophore, β-1,3- glukanase, kitinase, antibiotik, dan sianida (Husen et al., 2007). 
Salah satu fitohormon yang dihasilkan oleh mikroba tanah adalah auksin (indol-3 asam asetat) disingkat IAA yang penting untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebagian besar bakteri pemacu pertumbuhan yang berasosiasi di akar tanaman dapat mensintesis IAA antara lain Burkholderia sp., Azotobacter sp., Enterobacter sp., Erwinia sp., Pantoea sp., Pseudomonas spBacillus sp., Klebsiella sp., Azospirillum sp., dan Serratia sp. Mekanisme sintesis auksin oleh PGPR diinisiasi dan diatur oleh tanaman. Tanaman menghasilkan eksudat akar agar menarik PGPR untuk mengkoloni rhizosfir. Setelah terjadi kolonisasi, tanaman terus menerus mengeluarkan eksudat akar untuk memelihara mikroba di rhizosfir. Eksudat akar merupakan sumber alami asam amino Ltriptofan (L-TRP) bagi mikroflora di rhizosfir dan senyawa ini meningkatkan kemampuan biosintesis auksin oleh mikroba (Widyati, 2015).  

Mekanisme sintesis fitohormon oleh PGPR 
(Ahemad, M and Mulugeta Kibret, 2014)

Beberapa PGPR dari genus Pseudomonas mayoritas adalah penghasil ACC diaminase, antara lain P. chlororaphis (Husen et al., 2008), P. syringae, P. fluorescens (Nadeem et al., 2007) dan P. mendocina (Kohler et al., 2009). Bakteri penghasil enzim ACC deaminase mampu menghidrolisis ACC yang dikeluarkan akar, sehingga dapat mengurangi pembentukan hormon etilen pada masa vegetatif akibat cekaman salinitas (Glick 1995). Bakteri penghasil ACC deaminase efektif membantu tanaman mengendalikan salinitas tinggi dan beberapa diantaranya juga terbukti mampu meningkatan daya tahan tanaman terhadap patogen (Husen, 2011). Pengurangan cekaman salinitas pada tanaman budidaya oleh bakteri ACC deaminase menurut Mayak et al. (2004) juga terkait dengan meningkatnya penyerapan P dan K yang menjadi bagian dari aktivitas proses ameliorasi cekaman kadar garam pada tanaman.
Pengaruh positif PGPR bagi pertumbuhan tanaman pertama kali dilaporkan pada tanaman umbi-umbian seperti lobak, kentang, gula bit. Tanaman kanola (Brassica compestris) (sejenis kol atau sawi) yang diinokulasi oleh Pseudomonas putida strain GR12-2 meningkatkan panjang akar, tinggi tanaman, dan penyerapan hara P. Pengaruh positif PGPR pada berbagai jenis tanaman masih terus diteliti, baik menggunakan strain rizobakteri yang sudah dikenal maupun isolat-isolat lokal yang diperoleh/diisolasi dari lingkungan tanah setempat (indigenous) (Husen et al., 2007).  [JK03]. 

Hubungan Serangan Penyakit Terhadap Produksi Buah Cabai Besar Di Kecamatan Bumiaji Kota Batu

Oleh: Joko Ariswanto, SP. 
(Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan-Universitas Brawijaya)

Analisis korelasi dan regresi antara intensisitas penyakit akibat jamur patogen dengan produksi cabai besar per hektar menunjukan hubungan yang berbeda setiap jenis penyakit. Penyakir bercak daun cercospora  memiliki pengaruh lebih besar menurunkan produksi buah cabai besar per hektar yakni sebesar 89% dibandingkan dengan penyakit hawar dan layu fusarium masingmasing sebesar 1,8% dan 10,1% 
Hubungan Regresi Intensitas Penyakit Bercak Daun dengan Produksi Buah Cabai per Hektar 

Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa intensitas becak daun dengan produksi cabai besar per hektar memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini dapat diketahui dari nilai r hitung sebesar 0,882. Nilai r hitung sebesar 0,882 artinya semakin tinggi intensitas bercak daun cercospora  maka produksi buah cabai besar akan semakin menurun. Sedangkan, analisis regresi menunjukan bahwa intensitas serangan bercak daun cercospora  signifikan bermakna dengan pengaruh sebesar 89% (R2 = 0,89) terhadap penurunan produksi buah cabai per hektar.  Pengaruh penurunan produksi buah cabai besar per hektar disebabkan penyakit bercak daun cercospora  menyerang pada awal pengematan  (2 MST) dengan intensitas yang terus meningkat setiap minggu. Menurut Suhardi dan Permadi, 1990 dalam Semangun (2007), menyebutkan bahwa tidak ada varietas ataupun kultivar tanaman cabai yang tahan terhadap serangan penyakit bercak daun cercospora. 


 Hubungan Faktor Iklim Terhadap Waktu Kemunculan dan Intensitas Penyakit Di Kecamatan Bumiaji Kota Batu
Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keparahan suatu penyakit tanaman. Lingkungan yang cocok akan menjadikan patogen lebih virulen terhadap tanaman budidaya. Menurut Hillocks dan Waller (1997) faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi keparahan suatu penyakit antara lain suhu, curah hujan dan kelembaban udara terutama di daerah tropis. Faktor-faktor inilah yang berperan dalam proses terjadinya penyakit mulai dari inokulasi inokulum patogen pada tanaman hingga infeksi terhadap jaringan tanaman. Berdasarkan data iklim dari BKMG Karangploso tahun 2015 menunjukan bahwa suhu harian di daerah percobaan pada bulan NovemberDesember berkisar 23-25 oC, curah hujan sebesar 12-30 mm/hari dan kelembaban udara 49-71%. Kondisi iklim inilah yang mempengaruhi peningkatan intensitas serangan pennyakit.  

 Peningkatan Intensitas Penyakit pada Setiap Minggu Pengamatan 

Waktu kemunculan penyakit berbeda pada setiap pengamatan penyakit. Penyakit bercak daun cercospora  ditemukan menyerang tanaman cabai besar pada awal  pengamatan yakni 2 MST. Kelembaban udara di daerah percobaan sangat berpengaruh terhadap waktu kemuncuan penyakit dengan korelasi yang sangat kuat. Semakin tinggi kelembaban udara maka intensitas penyakit bercak daun cercospora  semakin besar. Penyakit hawar daun phytopthora ditemukan menyerang tanaman cabai besar pada 7 MST dengan intensitas serangan 0,41% dan semakin meningkat setiap minggu. Berdasarkan analisis korelasi waktu kemunculan dan intensitas penyakit hawar daun dipengaruh oleh suhu dan kelembaban udara dengan hubungan yang kuat. Semakin tinggi suhu dan kelembaban udara maka intensitas penyakit hawar daun semakin besar. Kondisi suhu dan kelembaban pada 7 MST saat kemunculan penyakit hawar daun yakni 23,8oC dan 67,9%. Menurut Semangun (2007) penyakit hawar daun tumbuh dan berkembang dengan baik pada suhu lingkungan berkisar 10-25 oC. Sedangakan waktu kemunculan  penyakit layu fusarium ditemukan pada 5 MST dengan tingkat serangan yang relatif rendah. Berdasarkan analisis korelasi faktor lingkungan yang dominan  berpengaruh terhadap waktu kemunculan penyakit adalah suhu dan kelembaban udara masing-masing faktor memiliki hubungan yang kuat. Suhu dan kelembaban udara pada 5 MST sebesar 24,8 oC dan 64,6% dapat memicu kemunculan penyakit layu fusarium dengan intensitas 1,46%. Menurut Mahmud dan Mirin (1987 dalam Semangun, 2007) penyakit layu fusarium dapat berkembang dengan baik pada suhu 21-33oC dengan kelembaban yang tinggi. Intensitas penyakit layu fusarium terus mengalami peningkatan setiap minggu [JK02]

GEJALA DAN KENAMPAKAN MIKROSKOPIS PENYAKIT PADA CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) DI KECAMATAN BUMIAJI KOTA BATU

Oleh: Joko Ariswanto, SP.
(Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan-Universitas Brawijaya)

Penyakit bercak daun cercospora  (Cercospora capsici)
Penyakit bercak daun cercospora  disebabkan oleh jamur patogen  C. capsici. Hampir semua tanaman terserangan bercak daun cercospora  dengan intensitas serangan yang ringan yakni berkisar 0,1-0,8 %. Penyakit bercak cercospora  hanya menyerang daun tanaman cabai besar meskipun patogen dapat menyerang pada ranting dan buah. Gejala yang nampak pada daun tanaman yang terserang yakni terdapat bercak kecil dengan diameter 0,5-5 mm pada permukaan daun baik bagian atas maupun pada bagian bawah. Bercak berwarna coklat kelabu dengan tepian bercak lebih gelap dan kering (Gambar 6a). Serangan lebih lanjut bercak akan meluas dan menyebabkan daun menguning dan akhirnya gugur. Deskripsi gejala penyakit bercak daun cercospora  di lapang sesuai dengan gejala yang dideskripsikan oleh Semangun (2007) dan  Cerkauskas (2004), yang menyatakan bahwa gejala penyakit bercak  daun cercospora  pada daun cabai mula-mula daun terdapat bercak-bercak kecil bulat berwarna abu-abu pada bagian tengah bercak dan berwarna coklat-kehitaman pada bagian tepi bercak atau menyerupai mata katak (frog eyes). Bercak  dapat berkembang hingga mencapai diameter 0,5-1 cm. Serangan yang berat dapat menyebabkan daun berubah warna menjadi kuning dan gugur atau langsung gugur tanpa berubah warna menjadi kuning. 
Penyakit Bercak Daun Cercospora :  a). Gejala serangan penyakit bercak daun cercospora  pada daun cabai besar usia 3 MST , b) makroskopis koloni jamur pada media PDA umur 14 HSI dan c) mikroskopis  C. capsici   (Dokumentasi Pribadi)

Pengamatan koloni jamur C. capsici pada media biakan PDA memiliki warna putih konsentris, membentuk miselium airasi, tepi koloni rata dan memiliki permukaan yang halus. Jamur C. capsici mencapai luasan maksimum pada 13-14 hari setelah inokulasi (Gambar b). Pengamatan mikroskopis jamur C. capsici memiliki ciri-ciri miselium hialin, bersekat dan bercabang. Konidia terbentuk diatas konidiofora yang pendek dan sederhana. Konidia berbentuk gada panjang, memiliki ukuran 65-73 µm dan bersekat 5-6 sekat. Ciri-ciri mikroskopis jamur didasarkan pada deskripsi Semangun (2011), yang mendiskripsikan bahwa jamur C. capsici memiliki kenampakan mikroskopis berupa konidia yang berbentuk gada panjang dengan ukuran 60-200 x 3-5 µm bersekat 3-12 sekat dan terbentuk diatas konidiofora yang pendek bersekat 1-3 sekat.

Penyakit hawar daun (Phytophthora capsici)  
Penyakit hawar daun ditemukan menyerang tanaman cabai ketika tanaman berumur 7 MST. Selain menyerang daun cabai besar, patogen juga menyerang ranting dan cabang sehingga menyebabkan tanaman nekrotik. Intensitas serangan penyakit hawar daun cukup ringan berkisar 0,5-2% (Tabel 6). Penyakit hawar daun cabai disebabkan oleh jamur patogen P. capsici. Gejala yang nampak pada daun yakni daun berwarna coklat kehitaman seperti tersiram air panas dan layu yang dimulai pada bagian tepi daun. Batas hawar dengan bagian daun yang masih sehat terlihat basah atau water soaked (Gambar a ). Deskripsi gejala serangan hawar daun pada tanaman cabai besar di lapang sesuai dengan deskripsi gejala oleh Manohara (2007) gejala awal penyakit hawar daun cabai yakni terdapat bercak berwarna hitam dengan serat-serat dibagian tepi bercak. Serangan lebih lanjut akan mengakibatkan daun gugur. 
Penyakit hawar daun:  a). Gejala hawar daun pada daun tanaman cabai besar, b). makroskopis koloni jamur pada media Carrot Agar umur 3 HSI dan c) sporangium jamur P. capsici berbentuk seperti buah lemon sampai bulat  (Dokumentasi Pribadi)

Jamur P. capsici diisolasi menggunakan media Carrot Agar berdasarkan Drenth dan Barbara (2011). Jamur P. capsici memiliki ciri-ciri koloni berwarna putih, berbentuk seperti kapas dengan miselium yang tipis dan perkembangan yang cepat. Koloni jamur dapat memenuhi media selama 3 hari setelah inokulasi. Kenampakan mikroskopis jamur P. capsici memiliki hifa hialin, membentuk sporagium yang sedikit dengan bentuk bulat, memiliki pappila diujung sporangium dan berukuran 11,82-14,10 x 10,44-11 µm. Jamur  P. capsici pada media Carrot Agar membentuk banyak oogonium dengan bentuk bulat dan memiliki diameter 11,28-12,27 µm. Ciri-ciri morfologi jamur didasarkan pada deskripsi Bande et al. (2011), yang mendiskripksikan jamur  P. capsici pada media agar V.8 memiliki bentuk koloni seperti kapas, berhifa hialin, membentuk banyak klamidiospora dan sporagium berbentuk lemon dengan dengan ukuran 14,8-46,2 x 12,9-34,6 µm.   Sporangium dan oogonium jamur P. capsici memiliki ukuran yang lebih kecil dari pada hasil deskripsi Bande et al. (2011). Perbedaan penggunaan media isolasi diduga berpengaruh terhdap kenampakan dan ukuran sporagium dan oogonium jamur P. capsici. Menurut Drenth dan Barbara (2011) media Carrot Agar merupakan media yang alternatif yang digunakan  untuk isolasi jamur P. capsici dengan kandungan yang nutrisi yang lebih rendah dibandingan dengan agar V.8 yang terbuat dari berbagai macam ekstrak sayuran. 

Penyakit layu (Fusarium oxysporum
Penyakit layu fusarium ditemukan mulai menyerang tanaman cabai pada 5 MST. Serangan penyakit menyebabkan seluruh organ tanaman cabai layu. Intensitas serangan penyakit layu fusarium cukup rendah yakni berkisar 2-3 %. Gejala yang nampak yakni tanaman cabai layu yang diawali pada daun bagian pucuk kemudian berkembang menuju daun bagian bawah hingga menyebabkan keseluruhan organ tanaman layu (Gambar a). Serangan lebih lanjut akan menyebabkan daun mengering dan akhirnya gugur. Penyebab penyakit layu fusarium adalah jamur patogen F. oxysporum. Jamur menyerang bagian pembuluh angkut (xylem dan phoem) tanaman cabai sehingga dapat mengganggu transport air dan nutrisi keseluruh bagian tanaman. Tanda serangan jamur F. oxysporum pada tanaman cabai dapat diketahui dengan cara membelah pangkal batang tanaman cabai. Ketika dibelah pembuluh angkut tanaman akan berubah warna menjadi coklat atau disklorosis (Gambar 8b). Deskripsi gejala serangan layu fusarium pada tanaman cabai besar di lapang sesuai dengan deskripsi gejala oleh Semangun (2007) dan Joshi et al. (2012) gejala serangan jamur F. oxysporum yaitu mula-mula daun menjadi klorosis, apabila batang dibelah bagian kayu akan berubah warna menjadi coklat (disklorosis), tanaman layu akibat terhambatnya transport air dan nutrisi keseluruh bagian tanaman yang dimulai dari bagian pucuk tanaman 
Penyakit Layu Fusarium: a). Gejala serangan penyakit layu fusarium, b). tanda disklorosis jaringan pembuluh tanaman cabai besar ketika pangkal akar dibelah, c). kenampakan makroskopis koloni jamur pada media PDA umur 14 HSI dan d). Mikrokonidia jamur F. oxysporum berukuran 5-7 µm  (Dokumentasi Pribadi)

Jamur F. oxysporum memiliki ciri-ciri koloni berwarna putih pada saat awal pertumbuhan setelah koloni berumur satu minggu warna koloni berubah menjadi putih keunguan. Tepi dan permukaan koloni halus, serta membentuk miselium udara yang tipis. Jamur F. oxysporum mencapai luasan maksimum pada 13-14 hari setelah inokulasi (Gambar c). Kenampakan mikroskopis jamur F. oxysporum memiliki hifa hialin, tidak membentuk makrokonidia namun membentuk banyak mikrokonidia lonjong dengan ukuran 5-7 µm bersel satu mengerombol diujung konidiofora dan membentuk banyak klamidiospora pada media PDA. Ciri-ciri morfologi jamur didasarkan pada deskripsi Semangun (2001) yang mendeskripsikan jamur F. oxysporum memiliki koloni berwarna putih keunguan. Pada miselium yang lebih tua kan terbentuk banyak klamidiospora. Secara mikrskopis jamur F. oxysporum membentuk banyak mikrokonidium bersel satu, lonjong, tidak berwarna dengan ukuran  6-15 x 2,5-4 µm dan makrokonidium jarang terbentuk [JK01].